SURAKARTA – Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) beraudiensi dengan Komisi IV DPRD Kota Surakarta dan Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Surakarta, Senin (17/2) siang, di Ruang Badan Anggaran DPRD Kota Surakarta. Pertemuan ini membahas berbagai tantangan serius di dunia Pendidikan Kota Surakarta, mulai dari isu anak putus sekolah (APS), anak tidak sekolah (ATS), hingga persoalan perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.
Ketua MPPS, Pardoyo, membuka audiensi dengan memaparkan sejarah berdirinya organisasi yang dipimpinnya serta berbagai kiprah yang telah dilakukan dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak di Kota Surakarta. Salah satu fokus utama MPPS adalah penanganan anak putus sekolah dan anak tidak sekolah, yang menurut Pardoyo sudah menjadi masalah menahun di Kota Bengawan.
“Pada tahun 2010, tercatat ada 284 anak putus sekolah dan anak tidak sekolah di Kota Kota Surakarta. Saat itu kami satu visi dengan Wali Kota Surakarta saat itu, Pak Jokowi, yang kemudian meluncurkan program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS),” ujar Pardoyo.
Ia menjelaskan bahwa program BPMKS yang diluncurkan pada April 2010 tersebut kemudian menjadi embrio dari program nasional Kartu Indonesia Pintar (KIP). Salah satu kasus anak putus sekolah yang pernah didampingi MPPS adalah seorang anak di Jagalan, Kota Surakarta, yang pada waktu itu harus bekerja sebagai tukang kipas satai untuk membantu ekonomi keluarga.
“Anak tersebut akhirnya kami jadikan anak asuh bersama Dewan Pendidikan Kota Surakarta, dan kami titipkan di SMPN 20 Kota Surakarta. Syukurlah, anak itu berhasil lulus dengan prestasi terbaik,” tutur Pardoyo.
Berkaca dari kasus tersebut, Pardoyo mengungkapkan bahwa persoalan ATS dan APS di Kota Surakarta bisa diibaratkan fenomena gunung es. “Kasus yang tampak di permukaan lebih kecil dari kenyataan di lapangan. Ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan oleh Pemkot Kota Surakarta dan Dinas Pendidikan ke depan,” tegasnya.
Dalam audiensi tersebut, Pardoyo juga memaparkan hasil temuan terbarunya saat melakukan penyisiran terhadap anak-anak yang putus sekolah di berbagai sudut Kota Kota Surakarta. Salah satu kasus yang cukup memprihatinkan adalah seorang anak dari SMPN 8 Kota Surakarta berinisial F.
“Anak ini terpaksa putus sekolah setelah ayahnya meninggal dunia. Dia harus mencari nafkah sendiri dan tinggal di area TPU Bonoloyo dengan memanfaatkan MMT bekas dekat makam ayahnya,” ungkap Pardoyo.
Lebih memprihatinkan lagi, anak tersebut ternyata memiliki komunitas dengan kondisi serupa. “Komunitas ini terdiri dari anak-anak yang nasibnya hampir sama. Tidak semuanya berasal dari Kota Surakarta, ada beberapa yang datang dari luar daerah,” lanjutnya.
Selain isu ATS dan APS, Pardoyo juga menyoroti masalah perundungan yang masih marak di lingkungan sekolah. Menurutnya, perundungan bisa mengganggu aktivitas belajar mengajar dan merusak mental siswa.
“Kita harus terus mengawasi dan mencegah praktik perundungan ini agar dunia pendidikan di Kota Surakarta menjadi lebih kondusif. Selain itu, sekolah-sekolah penggerak yang sudah dicanangkan juga harus kembali diaktifkan agar benar-benar berfungsi,” ujar Pardoyo.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Kota Surakarta, Sugeng Riyanto, yang memimpin audiensi, menyampaikan bahwa pihaknya menyadari banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan terkait pendidikan di Kota Surakarta.
“Kami berkomitmen untuk terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Kota Kota Surakarta, terutama dalam menangani isu-isu seperti anak putus sekolah dan perundungan di lingkungan sekolah,” tegas Sugeng.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan kesepakatan untuk mempererat koordinasi antara MPPS, Komisi IV DPRD Kota Surakarta, dan Dinas Pendidikan Kota Surakarta dalam menangani berbagai persoalan pendidikan yang ada. Langkah-langkah konkret juga akan disiapkan untuk mempercepat penyelesaian masalah-masalah tersebut, demi masa depan pendidikan yang lebih baik di Kota Bengawan.
Arifin Rochman