SURAKARTA – Massa yang mengatasnamakan diri dari kalangan mahasiswa menggelar aksi protes di depan Gedung DPRD Kota Surakarta, Kamis Sore (20/3). Mereka menyuarakan penolakan terhadap Revisi UU TNI yang telah disahkan oleh DPR RI pada hari yang sama.
Dari pantauan di lokasi, massa mengenakan pakaian serba hitam dan membentangkan spanduk bertuliskan “Tolak UU TNI”, “Supremasi Sipil”, “Kembalikan Supremasi Sipil”, hingga “We Don’t Need Your Idiot Democracy”. Dalam orasinya, mereka juga menyerukan agar TNI kembali ke barak.
Koordinator aksi, Ridwan Nur Hidayat, menyatakan bahwa aksi ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap keputusan DPR RI yang telah mengesahkan revisi UU TNI.
“Kita di sini pertama kecewa dengan keputusan DPR yang tadi pagi mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-Undang. Hal itu menjadikan kami sebagai masyarakat kecewa,” ujarnya di sela aksi.
Ridwan juga mempertanyakan klaim bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, sementara rakyat masih belum diutamakan.
“Katanya negara kita negara demokrasi, tetapi buktinya tidak ada sampai sekarang ini rakyat yang diutamakan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal agar Undang-Undang tersebut bisa dibatalkan.
“Dari kami ingin tetap mengawal gimana pun caranya UU TNI dibatalkan karena sudah tidak bisa memihak rakyat sipil yang utama,” tegasnya.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam revisi UU TNI ini adalah penambahan kelembagaan yang bisa diisi oleh TNI aktif, termasuk kejaksaan. Ridwan mempertanyakan keputusan tersebut dan meminta agar TNI tetap berada di barak.
“Yang disoroti dengan enam formasi tambahan, yang paling kita pandang di kejaksaan. Kenapa? Karena hal tersebut di bagian TNI sudah ada pengadilan militer sendiri, kenapa masih masuk peradilan dari sipil?” bebernya.
Ia juga menekankan bahwa demokrasi harus mengedepankan diskusi, bukan dominasi oleh institusi bersenjata.
“Kami menginginkan TNI ke barak karena TNI sudah memiliki jabatan tersendiri. Kenapa masih menginginkan kita untuk berbagi jabatan tersebut? Dan satu lagi, kita negara demokrasi yang diutamakan dengan diskusi. Apabila kita diskusi dengan seseorang yang membawa senjata, apa bisa kita terima dengan baik-baik bila ada sudut pandang berbeda?” pungkasnya.
Saat menemui aksi, Ketua DPRD Kota Surakarta, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa DPRD selalu terbuka terhadap aspirasi masyarakat.
“Kami selalu terbuka untuk menerima aspirasi dari siapa pun, termasuk teman-teman mahasiswa. Apalagi kalian ini calon intelektual yang nantinya akan menggantikan kami,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa perubahan tidak hanya bisa dilakukan melalui demonstrasi.
“Kalau ingin ada perubahan, jangan hanya bersuara di jalanan. Masuklah ke dalam sistem agar bisa mengubahnya dari dalam,” tambahnya.
Budi menegaskan bahwa DPRD Kota Surakarta tetap berkomitmen terhadap aspirasi yang telah disampaikan.
“Terkait aspirasi RUU TNI, kita tetap sepakat untuk menolak. Tetapi kita harus memahami bahwa ranah kewenangan DPRD berbeda dengan DPR RI,” jelasnya.
Ditemui seusai aksi, Budi menambahkan bahwa mahasiswa juga menyampaikan isu-isu lokal.
“Ada juga tuntutan tentang Kentingan Baru dan persebaran miras. Kami sudah jelaskan, tapi mungkin karena kondisi di lapangan, penyampaiannya kurang maksimal,” ujarnya.
Wakil Ketua DPRD, Ardianto Kuswinarno, menyatakan bahwa tuntutan mahasiswa sudah disampaikan ke tingkat lebih tinggi.
“Kemarin kita sudah menandatangani penolakan. Tapi kita hanya bisa menyampaikan surat tuntutan, bukan mengintervensi. Keputusan ada di DPR RI,” katanya.
Ia juga menilai bahwa sebagian mahasiswa terlalu memaksakan tuntutannya.
“Mereka ngotot ingin RUU TNI dibatalkan, padahal itu bukan kewenangan kita. Tuntutan mereka jadi melebar ke hal-hal lain,” tegasnya.
Tuntutan Kentingan Baru
Menanggapi tuntutan terkait Kentingan Baru, Wakil Ketua Komisi III, YF Sukasno, menegaskan bahwa persoalan tersebut sebenarnya sudah selesai.
“Tanah yang ada pemiliknya, diberi alternatif untuk dibelikan tanah lain bagi warga yang menempati. Total penghuni sekitar kurang lebih 267 KK sudah direlokasi secara bertahap di Bulan September Tahun 2012,” jelasnya.
Ia merinci bahwa relokasi pertama dilakukan di Kampung Ngringo Palur, mencakup sekitar 48 KK. Relokasi kedua dilakukan di RT04 RW30 Mojosongo, tepatnya di Kampung Randusari, yang saat ini masih ditempati sekitar 175 KK. Relokasi terakhir berada di Kampung Ketekan yang menampung 18 KK.
“Sekarang ini yang tersisa hanya bangunan masjid,” tambah Ketua Fraksi PDIP itu.
Sebagai informasi, warga yang direlokasi semua mendapatkan sertifikat atas nama masing-masing pemilik dan diserahkan di BPN dengan ukuran lahan kurang lebih 40-45 meter persegi secara gratis.
Lebih lanjut, Ia mengingatkan bahwa jika ada warga baru yang menempati kawasan tersebut, maka itu adalah persoalan baru.
“Kalau sekarang ada yang menempati dan mereka adalah pendatang baru, itu persoalan baru. Tapi untuk warga terdahulu, semua sudah direlokasi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti sejarah Kentingan Baru yang berawal dari gerakan LSM ELSABAS “Tanah untuk Rakyat” di era reformasi.
“Kentingan Baru dulu dicetuskan oleh Margi Yuriswadi (alm.), Ketua LSM ELSABAS. Di era reformasi 1998, ramai-ramai membuat patok di sana, lalu dibangun rumah-rumah bambu dan gedhek. Seiring waktu, bangunan itu menjadi permanen, padahal tanahnya sudah ada pemiliknya,” bebernya.
Selain itu, Legislator Senior menambahkan menambahkan bahwa Fraksi PDI Perjuangan memiliki sejarah panjang dalam mendampingi warga Kentingan Baru.
“Agak aneh kok pendemo mengungkit-ungkit persoalan Kentingan Baru, bahkan ada yang menantang siapa yang mau menjawab. Maka saya jawab dan saya ceritakan di hadapan para pendemo,” ujarnya tegas.
Menurutnya, kondisi Kampung Randusari RT 04 RW 30 Mojosongo saat ini sangat baik.
“Rumah sudah permanen semua, ada gedung serbaguna yang luas, jalan lingkungan halus, drainase lancar, sumur dalam bagus,” tutupnya.
Terakhir, Sukasno mengingatkan agar isu yang sudah selesai tidak dijadikan tuntutan kembali.
“Kita harus memahami konteks saat ini. Jangan mengangkat isu yang sudah selesai menjadi tuntutan baru,” tutupnya.
Arifin Rochman